Sebelumnya, terlebih dahulu saya meminta maaf karena keterlambatan saya dalam menulis tulisan ini. Pada awalnya, telah saya rencanakan untuk saya tulis dan posting sesaat setelah hari haji. Namun, karena kesibukan dan minimnya fasilitas, tulisan ini baru saya selesaikan.
Sudah menjelang Maghrib, namun belum satu pun ide yang terlintas untuk menjadi kado dari hari Arofah (9 Dzulhijjah). Saya putarkan pandangan, semua sudut saya tuju. Hanya jamaah haji yang duduk dengan selembar tikar dengan tangan menengadah dan mata yang basah. Hanya itu yang saya dapati disepanjang pandangan. Barangkali kawan saya hanya akan saya berikan kado basi, kado yang sudah banyak diutarakan para ustadz tentang mensyukuri nikmat dan interospeksi diri. Sudahlah, mungkin baru sebatas itu yang bisa saya baca dari suatu kejadian alam ini.
Adzan Maghrib tinggal beberapa menit. Pertanda waktu wuquf hampir mendekati finish. Disamping kiri saya seorang wanita paruh baya menangis cukup deras. Ah, wanita memang lebih mudah meneteskan air mata, apalagi disaat hari Arofah, puncak hajI.
Jamaah sudah mulai berkemas menuju bis untuk berangkat menuju Muzdalifah. Begitu juga dengan wanita yang menangis disamping saya, dia berjalan dengan dibantu suaminya. Oh, saya ingat, wanita itu yang hari kemarin saya bantu turun dari bis. Dia jauh datang dari Kalimantan untuk menunaikan ibadah hajI mengikuti rombongan dari Magelang. Umurnya sudah tua, mungkin pendidikannya juga belum begitu tinggi, terbukti dengan sulitnya wanita itu komunikasi menggunakan Bahasa Indonesia.
Kini saatnya saya berkemas, tikar sudah saya lipat. Sebuah instruksi saya dapat dari ayah saya selaku ketua rombongan agar saya terus memantau wanita tadi. Dari penjelasan ayah, saya dapatkan informasi bahwa wanita tadi baru saja sembuh dari stroke yang dideritanya beberapa bulan yang lalu. Suaminya sangat sabar, selalu mendampingi dimanapun dan kapanpun istrinya membutuhkan. Karena itulah air mata terus keluar dari mata si wanita tadi, rupanya dia terharu dengan pengorbanan, perhatian dan tanggung jawab yang dilakukan suaminya. Sungguh pemandangan yang romantis. Musim hajI selalu membuat saya iri dengan pasangan suami-istri yang tampil mesra.
subhanallah, Saya baru tersadar, inilah arti dari potongan khutbah Arofah Nabi dalam hajI wada’nya. Sebuah khutbah padat yang saya baca dari buku Syaikh Al-Albani beberapa hari menjelang berangkat menuju mina.
“… dan takutlah kepada Allah dalam bersikap kepada wanita, karena kamu telah mengambil mereka dengan jaminan amanah Allah; dan telah kamu halalkan kemaluan mereka dengan menyebut asma Allah…” (HR bukhori muslim)
cemerlang, idea menuliskan kado Arofah telah saya dapatkan. sebuah makna tersirat dibalik tangisan haru seorang wanita tua yang bangga terhadap tanggung jawab suaminya. sebuah pasangan yang romantis. Awalnya saya sempat bingung, mengapa justru disaat hajI wada’ Nabi mengisi khutbahnya supaya kita takut kepada Allah dalam bersikap kepada wanita. Mengapa nabi tidak memberikan wejangan lain?
Ohh,kini saya paham. Dalam hajI ikatan batin seorang pasutri lebih kuat. Rasa cinta tumbuh dengan sendirinya, cinta kepada keluarga dan kerabatnya. Tak heran jika banyak pasutri yang mengalami kerenggangan dalam berkomunikasi melakukan ibadah hajI bersama, dan hasilnya manjur.
.: note: maaf kawan, aku belum bisa memberimu hadiah berarti.. anggap saja tulisan ini sebagai kado di saat pertama kali aku menunaikan ibadah haji.. doaku untukmu tak lupa aku lantunkan di waktu terbaik doa akan diijabahi.. uhibbukum fillah.. 🙂 :.
sudah lama saya ingin umroh, dan kian hari kian kuat keinginan itu … ya ALLAH undang hamba kerumahMU.
eh,, undangannya kan udah lama,, sejak Rasul diutus. waktu itu juga undangan udah resmi disebar… hehe
great story.
robe de soirée
thanks… 🙂
its a great journey.. Alhamdulillah.
makasih testimoninya