Mental Dosen Studi Islam


islamic-studies
islamic-studies

Apakah anda mendapati mata kuliah Agama Islam di kampus anda? Saya yakin setiap dari anda mendapatinya, apalagi yang mengambil program studi yg berkaitan dg Agama Islam.. Namun pernahkah anda perhatikan bahwa dosen anda sebagian besar tak mampu berbahasa Arab? Nah, ini masalahnya, (kecuali yg kuliahnya di sekolah tinggi milik pondok pesantren)

Jika anda tak memperhatikan, maka kini perhatikanlah bahwa hampir setiap kampus tidak memiliki dosen Agama Islam yang bisa berbahasa arab (bisa pun tidak, apalagi pandai). Dosen yang bisa berbahasa arab hanyalah dosen bahasa arab saja. Itupun biasanya hanya berbahasa arab pasif, sedangkan aktifnya kurang.

Padahal pada mata kuliah lainnya hampir setiap dosen mewajibkan dirinya sendiri unt menguasai bahasa inggris, alasannya logis, karena dalam bidangnya (misalkan teknik, psikologi, kedokteran dll) hampir semua rujukan utamanya berbahasa inggris. Tapi bukankah rujukan utama studi islam adalah kitab berbahasa arab?

Sayangnya para dosen agama islam kita nih keteguhan jiwanya kurang, banyak diantara mereka takut dikatakan ‘ketinggalan jaman’ manakala tidak menguasai bahasa inggris. Mereka pun berbondong2 belajar bahasa inggris (padahal bahasa arabnya nol). Apa akibatnya? Mereka akan mulai belajar materi islamic studies dari buku2 barat..

Sementara yg masih belum bisa bahasa inggris, agar tetep keren mereka pun belajar buku2 terjemahan dari bahasa inggris dan mencuplik artikel2 yang menyandarkan tulisannya dari karya2 barat.. ini masalah pertama..

Emang kenapa kalau buku dari barat? Atau buku tulisan orang lokal indonesia? Nggak harus arab kan? Islam itu bukan arab.. itu yang sering menjadi alasan mereka. Sebenarnya alasan yg basi.. itu hanya cara mereka ngeles aja..

Masalahnya gini, rata2 buku tentang ajaran islam yang menjadi rujukan di kampus2 tuh ditulis oleh sekedar ‘penulis’ atau ‘peneliti’ saja. Bukan seorang ‘alim, syaikh atau ustadz.. emang beda ya? Beda.

Buku tulisan seorang ‘alim akan banyak menitik beratkan pada keimanan, beliau menulisnya dg penuh pertanggung jawaban dan takut (taqwa) pada Allah. Karenanya, Allah pun memberikan furqan kepadanya.. namun buku tulisan peneliti atau penulis hanya menyajikan sesuatu sesuai pengetahuannya, kemudian permasalahan iman, taqwa, mahabbah, khasyah tak akan banyak dibahas, mengapa? Karena masalah itu tak dapat diukur dg penelitian dan juga kerap dikatakan sebagai ‘tidak logis’.. parahnya mereka justru mengatakan bahwa karya tulis yg sebelumnya ditulis dg rasa cinta, iman, taqwa bernilai subyektif., dan buku yg ditulis dg rasa khasyah pun dikatakan sbg buku yg ditulis dg rasa tertekan..

Masalah selanjutnya adalah, sebuah buku karya seorang syaikh / alim / ustadz di akhir tulisannya akan ada tarjih akan suatu permasalahan., sesuatu yang baik akan diakhiri dg himbauan untuk mengamalkan,, dan sesuatu yg buruk akan diakhiri dg larangan untuk mendekatinya.. beliau pun memberikan fatwa tentang kebaikan, keburukan atau hingga pada kesesatan suatu aliran berfikir tertentu..

Namun beda dengan peneliti, dalam menyimpulkan sesuatu peneliti tak akan mau memberi himbauan atau hingga pelarangan.. memuji sesuatu atau menyesatkannya bukanlah mental seorang peneliti..

Nah begitupun dg dosen yg hanya membaca buku dr para peneliti akan selalu mengatakan bahwa menyesatkan atau membaik-baikkan suatu kelompok bukanlah perbuatan baik. Mereka justru menghimbau mahasiswanya untuk toleran, adapun kebaikan yang sebenarnya hanya diketahui Allah..

Hadeeeh, kalo ujung2nya mau mengatakan bahwa kebaikan yg sebenernya hanya diketahui Allah, kenapa harus capek2 belajar? Bukankah kita belajar unt mengetahui mana yg baik dan yg buruk?

Jangankan masalah fiqih, lhawong masalah kesesatan syiah saja dikatakan saru untuk dibahas..

Saking rusaknya mental dosen, mereka pun kerap menyalahkan ulama yg memberikan fatwa suatu golongan sebagai sesat, atau fatwa tentang keharaman sesuatu.. misalkan contoh kerusuhan ambon, mereka mengatakan bahwa kerusuhan ambon terjadi gara2 MUI mengekuarkan fatwa haram mengucapkan selamat natal. Gara2 itu keharmonisan antar umat beragama retak.. hhh, dosen apaan nih..

Tugas ulama memang memberi fatwa, karena mereka adalah pewaris para nabi, mereka punya rasa tanggung jawab akan keislaman ummat.. kalau ada ulama kok dieeeem terus, itu justru mencurigakan..

Begitupun dg peneliti, mengapa peneliti tak pernah menyesatkan suatu golongan? Karena kode etik peneliti memang seperti itu. Jika dosen (guru) yang mendidik mahasiswa (murid) layaknya seorang peneliti, artinya mereka tidak paham tugas utama seorang pendidik, mereka tak bertanggung jawab atas tugasnya..

*ditulis di dalam kamar, sendirian, kedinginan.. 

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: