
Suatu hal yang susah kita dapatkan hari ini adalah hati yang suci dari kotoran. Betapa banyak kini orang-orang yang cepat menaruh curiga ketika bertemu dengan saudaranya sesama mukmin.
Tak heran karena kotornya hati inilah yang menjadikan kita susah dalam mentadabburi ayat-ayat dalam Al-Quran, atau juga sulit bagi kita merasakan kejadian-kejadian yang terjadi di sekitar kita.
Kita tentu mengenal dengan seorang ulama besar bernama Sufyan Ats-Tsauri. Darinya kita mengetahui ternyata beliau memiliki hati yang begitu lembut. Hampir setiap memasuki kubur beliau akan menutup mukanya dengan sorban yang dikenakan. Hal ini karena beliau tidak ingin orang lain menjumpainya tampak sedang menangis, dan beliau menangis karena benar-benar kuburan telah membuatnya mengingat akan kematian.
Padahal kita? Jangankan mengingat mati ketika ziarah kubur, bahkan seorang mayat yang terbujur berdarah-darah di sekitar kita pun tak mampu membuat hati kita tergetar. Maka sudah sepantasnya jika ada orang-orang yang menjadikan ziarah kubur sebagai tempat untuk sekedar berfoto.
Satu lagi. Saya akan mengingatkan Anda dengan seorang ulama besar bernama Imam Abu Hanifah. Beberapa muridnya mengatakan bahwa selama hampir 40 tahun Imam Abu Hanifah menjalani Shalat Shubuh dengan wudhu yang dilakukannya ketika Isya. Mengapa bisa demikian? Karena beliau menghabiskan malamnya untuk mentadabburi Ayat-ayat Al-Quran.
Yazid bin Al-Kumait pun menuturkan, suatu malam sang imam shalat isya’ (Ali bin Husain) membacakan surat Az-Zalzalah. Ketika shalat usai, jamaah pun bubar kecuali disana masih ada Abu Hanifah yang sedang tafakkur dan mendesah. Yazid yang semula ingin mengambil lentera penerang meliknya itu pun mengurungkan niatnya dan meninggalkan Abu Hanifah bersama dengan lentera yang tetap menyala. Malam pun berlalu. Hingga ketika waktu shubuh hampir tiba, Yazid kembali masuk ke masjid dan mendapati Abu Hanifah masih di posisinya semula.
Ketika Yazid mendekat, Abu Hanifah pun tersadar dan bertanya, “Apakah kamu akan mengambil lenteramu?” Seolah tafakkurnya sepanjang malam dirasakan baru berlangsung sesaat.
Yazid pun menjawab, “Adzan Shubuh telah tiba.”
Kaget mendengar jawaban itu, Abu Hanifah langsung mengatakan, “Rahasiakan apa yang telah kamu lihat.”
Seperti inilah hati yang suci, bahkan suatu perbuatan yang dikerjakan di tengah malam pun Imam Abu Hanifah tidak ingin agar diketahui orang lain. Beliau tidak mau membiarkan perbuatannya menjadi bahan perbincangan orang sehingga akan mengotori hatinya karena ada riya’.
Membersihkan hati dari kotoran adalah kewajiban setiap muslim, namun tidak banyak dari kita yang menyadarinya. Padahal ketika kesucian hati telah diraih, tentu hidup akan terasa lebih indah.
salam kenal…. semoga kita bekerjasama menghijauklan bumi INdonesia dengan penanaman pohon kurma. ditunggu kunjungan baliknya. syukron