Secara umum para ulama menjelaskan bahwa seorang yang ikhlas cenderung tidak akan menampakkan amal ibadahnya, namun dalam beberapa kondisi justru menampakkan amal ibadah dianjurkan dalam syariat.
Ibnu Qudamah berkata,
وفي الإظهار فائدة الاقتداء، وترغيب الناس في الخير. ومن الأعمال ما لا يمكن الإسرار به كالحج والجهاد. والمظهر للعمل ينبغي أن يراقب قلبه حتى لا يكون فيه حب الرياء الخفي، بل ينوي الإقتداء به
“Dalam menampakkan (amal ibadah) terdapat pelajaran mengenai keteladanan dan mengajak ummat pada kebaikan, Ada juga di antara amalan yang tidak bisa untuk ditutup-tutupi seperti haji dan juga jihad. Maka bagi orang yang menampakkan amalnya hendaknya ia mengecek ke dalam hatinya sampai tidak didapati di dalamnya cinta riya’ yang diam-diam tersembunyi, akan tetapi benar-benar meniatkan untuk keteladanan.”
Untuk memperjelas permasalahan ini Syaikh al-Munajjid merincikan ada tiga poin yang perlu diperhatikan dalam menampakkan atau menyembunyikan amal ibadah,
1. Bila amalan itu memang disunnahkan untuk disembunyikan, maka hendaknya tetap disembunyikan seperti kekhusyukan ataupun qiyamullail.
2. Bila amalan itu memang disunnahkan untuk ditampakkan, maka tidak mengapa menampakkannya. Seperti menjaga shalat jamaah, shalat jumat atau menunjukkan kebaikan.
3. Bila amalan itu boleh antara ditampakkan atau disembunyikan, maka hendaknya memilih untuk menyembunyikannya bagi orang yang khawatir terkena penyakit riya, namun boleh juga menampakkannya bila bertujuan untuk keteladanan. Seperti bersedekah, bila takut terkena riya maka hendaknya melakukannya secara diam-diam, namun jika berharap agar orang lain mencontohnya maka hendaknya menampakkannya.