Kacaunya Penentuan Kloter Haji 2016


antarafoto-kloter-terakhir-calon-haji-embarkasi-boyolali-170915-ajn-5

Penyelenggaraan haji setiap tahunnya selalu saja mengalami hambatan, termasuk di antaranya adalah dalam penentuan kloter. Pengkloteran adalah masalah klasik yang setiap tahun terus terulang bahkan (menurut saya) masalahnya semakin menjadi-jadi.

Sejatinya penentuan kloter adalah menjadi hak Kementerian Agama sepenuhnya, tanpa dapat diintervensi oleh pihak manapun, namun tetap saja ada berbagai pihak yang berusaha ikut mengaturnya atau malah ada beberapa oknum dari Kementerian Agama yang menawarkan kepada beberapa pihak apakah akan memesan kloter tertentu.

Di Tawa Tengah sendiri aturan penentuan kloter banyak mengalami perubahan. Semula (sebelum tahun 2012) diterapkan aturan bahwa penentuan kloter disesuaikan dengan jumlah jamaah setiap kabupaten atau kota sehingga tidak ada satu kota yang terpisah jamaahnya dalam beberapa kloter kecil. Bukan hanya itu, bahkan aturan beberapa tahun lalu dapat meminimalisir terpecahnya jamaah KBIH dalam beberapa kloter.

contoh: jika kota X memiliki jamaah 800 orang, sedangkan dalam satu kloter berisi 380 jamaah maka seharusnya jamaah dari kota X ini dapat diangkut dalam 3 kloter saja, tidak perlu terbagi dalam 4 atau 5 kloter dengan masing-masing kloter hanya berisi jumlah jamaah kecil dari kota X ini.

Terpecahnya jamaah dari suatu KBIH ke dalam beberapa kloter bagi petugas Kementerian Agama yang bertugas di dalam negeri bukanlah suatu masalah yang berarti, karena mereka hanya mengurusi berkas; namun bagi petugas lapangan di Tanah Suci pasti sangatlah merepotkan. Karena sudah bukan menjadi rahasia lagi, pembimbing KBIH lebih berwibawa di hadapan jamaah dibanding petugas kloter. Karenanya bila jamaah KBIH terpecah dalam beberapa kloter, koordinasi mereka dengan pembimbing kloter menjadi kacau dan petugas kloter tidak dapat menjembataninya.

contoh: bila kota x memiliki jamaah 800 orang yang terdiri dari jamaah KBIH A: 80 orang, KBIH B 100 orang, KBIH C: 60 orang. hendaknya jamaah yang tergabung dalam satu KBIH tidak terpecah dalam beberapa kloter. Jika ternyata jamaah dari KBIH C yang berjumlah hanya 60 orang, 50 di antaranya masuk dalam kloter 25 dan 10 jamaah lainnya masuk dalam kloter 26, ini akan menjadi masalah dan merepotkan petugas kloter.

Setelah aturan lama yang telah dijalankan bertahun-tahun dan dirasakan nyaman oleh jamaah, muncullah seorang Kepala Kantor Wilayah yang baru dan memiliki kebijakan baru.

Pengalaman beliau menjadi kakanwil di Jawa Timur, ingin diterapkannya di Jawa Tengah. Beliau melihat aturan yang sebelumnya membagi kloter jamaah haji dengan mengacak satu kota dengan kota lain yang berjauhan. Mungkin yang beliau inginkan baik, beliau tidak ingin dalam satu kloter berisi jamaah dari beberapa daerah yang jauh berbeda kebudayaannya.

Contoh: beliau ingin agar jamaah solo disatukan dengan jamaah klaten yang masih berada dalam satu karesidenan, bukan justru dengan jamaah dari Cilacap. Begitupun jika jamaah dari Solo terbagi dalam dua kloter, maka kedua kloter itu berurutan, tidak terpisah dalam jarak yang jauh apalagi sampai berbeda gelombang.

Nah beliau pun kemudian menerapkan aturan agar penyusunan kloter diutamakan dari kota-kota se-eks karesidenan baru kemudian berlanjut ke karesidenan berikutnya. Diharapkan dengan demikian dapat meminimalisir gap antar jamaah, dan di masyarakat pun tidak menjadi perbincangan manakala satu jamaah dengan jamaah lainnya di suatu kota terpisah keberangkatannya dalam kloter dan gelombang yang berbeda.

Setelah aturan model baru di atas diterapkan satu atau dua tahun, muncullah permasalahan baru. Kementerian Haji Arab Saudi menerapkan e-hajj sedangkan SDM di Indonesia belum mampu untuk menjalankan program ini. Maka tahun 2015 pun banyak jamaah terlantar karena visa yang mereka miliki belum dapat dicetak. Akibatnya kloter pun kacau, dan aturan penentuan kloter menjadi tidak dapat dijalankan.

Di tahun 2016 pun masalah pengkloteran masih menjadi ganjalan. Jamaah yang semula sudah bergembira karena masa pelunasan haji diajukan waktunya dibanding tahun-tahun sebelumnya, dengan harapan pengkloteran pun dapat segera selesai, ternyata salah.

Pengkloteran tidak dapat segera diselesaikan karena terdapat kebijakan pembimbing haji yang telah mengerjakan haji di tahun sebelumnya hanya bisa melunasi di gelombang kedua. Artinya data mereka belum dapat dimasukkan dalam manifest yang harus segera dikirim ke Kementerian Haji Arab Saudi.

Sekalipun data jamaah sebagian besar telah siap, namun karena data pembimbing belum lengkap, Kementerian Agama pun menunda penyusunan kloter.

Ketika tulisan ini saya tulis, penyusunan kloter baru selesai lebih kurang dua pekan yang lalu (pertengahan Syawal) sementara di tahun-tahun yang lalu sebelum bulan Ramadhan masalah pengkloteran telah selesai.

Di antara permasalahan yang hingga kini masih terjadi dalam masalah pengkloteran dan diharapkan dapat diatasi pada tahun selanjutnya adalah:

  1. terlambatnya masa penyusunan kloter
  2. jamaah dari satu kota terpisah dalam beberapa kloter yang jauh, bahkan berbeda gelombang
  3. jika terdapat kloter yang jamaahnya terdiri dari dua atau tiga kota, maka kota itu berjauhan, berbeda budayanya sehingga memunculkan gap antar para jamaah.
  4. ketakutan beberapa pihak dari kemenag dalam menyusun kloter hanya karena kyai x, y atau z yang terlambat melunasi haji dan belum dimasukkan dalam kloter yang diinginkan beliau

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: