
Sebagai pengurus pusat Ikappim seharusnya hari Jumat (8/1) ini saya termasuk salah satu dari sedikit orang yang berhak mendapatkan ID Card guna masuk dalam komplek pondok dan ikut menyambut kepulangan ustadz Abu Bakar Ba’asyir dari ring pertama. Tapi peluang ini sengaja tidak saya ambil.
Bukan karena apa, tapi saya kira kehadiran saya tidak berdampak signifikan membantu kelancaran proses kepulangan beliau, melainkan justru kedatangan saya membuat panitia semakin gemuk dan beresiko menambah kerumunan yang ada.
Tulisan ini tidak akan menjelaskan seperti apa pemikiran beliau dan bagaimana proses hukum yang dilalui beliau sepanjang puluhan tahun ini. Saya ingin berbagi cerita dari sisi lain saja.
Dibandingkan pengurus Ikappim lainnya saya adalah seorang yang paling junior dari sisi usia, tentu saya tidak memiliki memori sebanyak para senior lainnya dalam berinteraksi dengan ustadz Abu Bakar Ba’asyir. Agar Anda tahu, saya bahkan belum pernah diajar beliau dalam kelas.
Namun jika dibanding teman seangkatan lain di pondok, saya termasuk salah satu yang cukup dekat dengan keluarga ustadz Abu Bakar Ba’asyir. Muka saya yang relatif mirip dengan bapak saya membuat keluarga Ust Abu mudah dalam mengenali saya.
Ya, bapak saya adalah alumni angkatan ke-4 di pondok Ngruki, beliau juga termasuk di antara murid yang cemerlang prestasinya sehingga hampir seluruh ustadz senior mengenal beliau. Terlebih ustadz Abu yang ketika itu masih muda, beliau memiliki anak-anak kecil yang sejak dahulu sering dimomong para santri pondok termasuk di antaranya bapak saya.
Umi Aisyah (istri ustadz Abu Bakar Ba’asyir) sering mengingatkan hal ini kepada putra-putranya “Bapaknya dia (menunjuk ke saya) yang dulu gendong-gendong kamu”. Bahkan suatu saat tahun 2007 ketika saya kabur dari pondok siang hari, menunggu jemputan dari teman di sebuah wartel tiba-tiba saja Ustadz Rosyid (putra kedua ustadz Abu) datang memboncengkan Ibunya (istrinya ustadz Abu) ke warung dimana saya sedang ngumpet disana.
Beruntung sebelum ustadz Rosyid menginterogasi saya dengan pertanyaan “madza taf’alu huna? Ila aina tadzhabu?” (kamu ngapain disini? Mau kemana), lebih dulu istrinya ustadz Abu menghampiri saya dan bertanya “Kamu dari Magelang kan? Kamu anaknya Jauhari kan?” dan berbagai pertanyaan lainnya yang akhirnya menyelamatkan saya dari pelanggaran yang saya lakukan. Hehe.
Kedekatan saya dengan keluarga ustadz Abu juga membuat saya cinta dengan pelajaran Tafsir. Terlebih di kelas 1 MTs (sebelum ustadz Abu ditangkap di sebuah kejadian di PKU Solo), beliau ustadz Abu Bakar Ba’asyir sempat mengajar kami para santri (yang bermukim di Komplek pondok bagian utara) dalam pengajian umum bakda subuh tentang materi Tafsir.
Cara mengajar beliau mudah difahami, beliau pula yang mengajarkan para santri untuk berdoa “Allahumma faqqihni fid din, wa’allimni at takwil” (Ya Allah jadikan kami seorang yang faqih dalam Agama, dan ajarkan kami tentang takwil)
Sekembalinya dari Timur Tengah, putra kedua dan ketiga beliau (ustadz Rosyid Ridho dan ustadz Abdul Rahim) pun melanjutkan ayahnya, beliau mengajarkan kami mata pelajaran Tafsir dalam kelas. Cara mengajar beliau berdua membuat saya cukup terkesan dengan pelajaran tafsir sampai membuat saya memutuskan untuk memilih bachelor dalam bidang Islamic Science Hons in The Science of al-Quran di Mediu (Almadinah International University, sebuah kampus virtual yang berbasis di Kuala Lumpur) walaupun pada akhirnya tidak selesai. Jadi malu.
Lepas dari Mediu ketika mencari peruntungan belajar di Makkah, satu-satunya ustadz pondok yang saya minta memberikan tazkiyah (rekomendasi) adalah ustadz Rosyid Ridho Ba’asyir. Saya ingat betul sambutan beliau yang sangat hangat di teras depan rumahnya, beliau membuatkan secangkir kopi susu dan roti bakar untuk saya sambil memberi nasihat yang menjadi bekal saya hidup di Makkah.
Hingga kini saya masih menjalin komunikasi dengan keluarga Ustadz Abu Bakar Ba’asyir, terutama kedua putra beliau yang juga menjadi ustadz saya.
Walaupun siang ini saya sangat ingin ikut menyambut kepulangan ustadz Abu Bakar Ba’asyir, namun saya tidak boleh egois. Saya lebih memilih hingga beberapa hari kedepan tidak bekunjung ke kediaman beliau sampai kondisi lebih nyaman.
Semoga Allah memberikan taufiq untuk ustadz Abu Bakar Ba’asyir dan kita semua. Terima kasih sudah membaca cerita saya.
Citrosono, 8 Januari 2021
Rafiq Jauhary
Pengurus Ikatan Alumni Ponpes Islam al-Mukmin Ngruki