DRAMA LAHIRAN ANAK KETIGA
Bag. 1 (Kelahiran Sesar dan Sterilisasi)

Sejak awal kabar kehamilan anak ketiga, dokter kandungan sudah menyarankan agar proses melahirkan dilakukan dengan sesar. Wajar saja, karena kelahiran anak pertama dan kedua pun harus melalui sesar.
Anak pertama kami (Iyas) dilahirkan dengan sesar karena adanya pengapuran pada plasenta sehingga asupan makanan pada bayi tidak lancar, air ketuban semakin keruh. Tidak berselang lama, 30 bulan setelah kelahiran anak pertama operasi sesar juga kembali dijalankan karena kehamilan anak kedua kami (Najih) mengalami pendarahan yang cukup membuat panik.
Bagaimana tidak panik, kelahiran ini terjadi di hari ke-3 lebaran. Bayangkan di sebuah kota kecil, jumlah dokter ahli sangat terbatas, sementara mereka sedang cuti lebaran sehingga proses melahirkan sempat terancam akan dirujuk ke kota lain yang memiliki tenaga ahli lebih banyak.
Di kelahiran anak ketiga ini dokter juga menyarankan agar dilakukan sterilisasi, mengingat kondisi kandungan yang semakin lemah, dan lipatan bekas jahitan rahim pun semakin menyulitkan jika terjadi kehamilan selanjutnya. Resikonya besar.
Terbayang, di usia yang masih produktif harus melakukan sterilisasi adalah keputusan yang sulit. Lebih lagi dalam pandangan fikih (secara umum) tindakan steril adalah hal yang diharamkan (kecuali jika ada kedaruratan). Tapi apakah pertimbangan dokter kandungan ini dapat disimpulkan sebagai kedaruratan? Ini masalah tersendiri.
Setelah melakukan konsultasi ke beberapa tenaga medis lain, saran dokter kandungan untuk melakukan sterilisasi ini tidak kami ambil (dengan berbagai resiko yang ada).
Anak kami yang ketiga pun dilahirkan pada 11 Februari 2020 di RSI Kota Magelang.
Setelah proses melahirkan, drama lain yang tidak kalah menarik adalah tentang bagaimana memberi nama. (bersambung)
Rafiq Jauhary